Efisiensi menjadi penting dalam implementasi TI. Hal ini berdampak pada konsistensi layanan kepada nasabah. Tidak lagi karena alasan pemeliharaan sistem. Kompetensi digital menjadi tantangan industri di masa depan.
Oleh Rully Ferdian
TEKNOLOGI perbankan rentan terhadap guncangan. Tidak heran jika sistem teknologi informasi (TI) atau istilah
asingnya information technology (IT) perbankan kerap kali dilakukan maintenance dengan dalih “ada pemeliharaan sistem untuk meningkatkan pelayanan dan penguatan keamanan”. Ini bukan hal yang baru. Hampir semua bank mengalami kasus tersebut. Yang membedakan adalah cara penanganannya saja, terutama pendekatan communication skills dari public relation bank yang bersangkutan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa digital
resilience perbankan masih relatif rendah. Mitigasi risiko dan analisis dampak dengan menggunakan model tradisional yang dilakukan perbankan sudah tidak relevan lagi. Sistem perbankan harus mampu mempertahankan
fungsi operasi kritikal saat terjadi disrupsi untuk pulih kembali. Industri perbankan harus mampu secara cepat beradaptasi terhadap disrupsi dan mempertahankan keberlangsungan bisnis, disamping juga memiliki keunggulan kompetitif sehingga mampu bersaing dengan kompetitor di bisnis serupa. Itulah sebabnya, industri perbankan pun
perlu memahami tahapan penting dalam mengadopsi teknologi, termasuk emerging technology seperti artificial intelligence (AI). Hal ini untuk mengantisipasi potensi risiko yang timbul. Pertama, melakukan penelitian. Meninjau
dan mengidentifikasi daftar teknologi yang tepat memberikan solusi bagi use case tertentu. Kedua, penilaian. Membuat prioritas kandidat teknologi baru berdasarkan kesesuaian dampak, kematangan, dan dinamika pasar.
Ketiga, analisis. Mendefinisikan risiko kegunaan dan melakukan peninjauan peraturan, keamanan, dan kesesuaian budaya perusahaan. Menganalisis pasar, penyedia jasa, dan pemahaman dari pengguna akhir (end-user). Keempat, pembuktian. Mengembangkan proses proof-of concept (POC) untuk membuktikan kelayakan teknis dan nonteknis dari suatu ide atau konsep.
Setelah POC dikembangkan untuk memberikan gambaran yang komprehensif (real dan fungsional) dari suatu ide atau konsep. Kelima, implementasi dan perluasan. Mengembangkan minimum viable product (MVP) yang menjalankan dan menguji hal utama dari POC yang telah dikembangkan. Pada tahap ini, MVP diuji pada lingkungan nyata (real world) untuk menilai efektivitas dari konsep yang ditawarkan. Menurut Kepala Divisi IT Strategic Planning and Development Bank Tabungan Negara (BTN), Joko Christianto, scoring standardisasi perangkat IT perbankan perlu dilakukan untuk memastikan adanya konsistensi, efisiensi, dan efektivitas dalam pengelolaan aset IT di kantor cabang. Proses scoring ini melibatkan evaluasi berbagai parameter, seperti kesesuaian standar, spesifikasi, kinerja, kompatibilitas dengan sistem, dan status update.
“Tujuannya adalah menjaga availability dan reliability layanan IT sehingga dapat mendukung kinerja dan layanan
kantor cabang, meningkatkan awareness untuk menjaga infrastruktur IT dalam pengelolaan risiko operasional, serta memudahkan komunikasi untuk memberikan arahan dari kantor pusat apabila terjadi masalah atau gangguan,” kata Joko, saat acara BPD Forum 2025, di Denpasar, Bali, beberapa waktu lalu.
Sementara itu, dalam menerapkan kerangka kerja (framework implementation) teknologi informasi, industri perbankan setidaknya tetap mengedepankan prinsip peningkatan efisiensi dan produktivitas. Hal ini menjadi penting dalam mendorong penerapan manajemen risiko sehingga sesuai dengan rencana bisnis bank.
Lebih jauh, Achmad Fakhrudin, Senior Vice President Multipolar Technology, mengungkapkan, pengambilan keputusan yang lebih efisien dalam implementasi IT perbankan memberikan dampak positif dalam memberikan konsistensi layanan kepada nasabah yang muaranya adalah kepuasan pelanggan. “Perform and secure. Dua
hal itu menjadi keharusan manakala bank melakukan transformasi digital,” katanya kepada Infobank, di kesempatan yang sama.
Dia menilai, ancaman terbesar untuk perbankan adalah keberlangsungan bisnis. Itu sebabnya penting bagi perbankan beradaptasi dengan perkembangan teknologi untuk menghindari risiko bisnis. “Prioritaskan investasi pada keamanan perangkat teknologi untuk mengurangi risiko bisnis,” tegasnya.
Perbankan memang industri yang sarat dengan risiko. Karena itu, keterampilan digital sangat dibutuhkan oleh sektor perbankan untuk tetap bisa survive. Kenapa? Salah satu alasannya adalah adanya persaingan dengan perusahaan teknologi dan fintech. Lihat saja, betapa proses bisnis yang cepat dan aman menjadi daya tarik nasabah. Tidak hanya itu, perbankan juga masih relatif kekurangan talenta yang memiliki keterampilan digital khusus. Padahal, Revolusi Industri 4.0 disertai perkembangan teknologi seperti AI, yang memicu perubahan besar
di pasar tenaga kerja. Bahkan, bidang kerja saat ini dan calon pekerja harus memiliki keterampilan yang lebih kompleks, seperti berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan memiliki kemampuan komunikasi.
Pendidikan berkelanjutan menjadi kebutuhan penting untuk memastikan pekerja tetap relevan di era yang terus berubah. Keterampilan digital yang sangat dibutuhkan di sektor perbankan saat ini antara lain data analytics, cyber
security, cloud computing, AI, machine learning (ML), serta blockchain. Sektor jasa keuangan secara khusus berfokus pada pembangunan kapabilitas data science dan analitik untuk meningkatkan proses pengambilan keputusan, memberikan continuous customer experience dan meet customer expectation.
Kemajuan teknologi yang pesat membuat keterampilan pekerja menjadi cepat usang sehingga pembelajaran sepanjang hayat menjadi kebutuhan penting. Penelitian menunjukkan bahwa keterampilan yang diperlukan
untuk pekerjaan di masa depan mencakup keterampilan kognitif yang kuat, kemampuan analitik, dan keterampilan nonkognitif seperti kreativitas, pemecahan masalah, dan komunikasi. Oleh karena itu, pekerja harus terus memperbarui keterampilan mereka agar tetap relevan di pasar tenaga kerja yang berubah demikian cepat.